Jumat, September 11, 2009

SIRUP ROSELA, PAS UNTUK LEBARAN

SELAMA ini, hasil olahan rosela yang lebih dikenal masyarakat adalah teh rosela. Namun hasil olahan lain seperti sirup rosela juga patut dilirik.


Sebagai minuman, potensi pasar sirup sangat besar lantaran sirup bisa dikonsumsi untuk segala usia. Selain itu penggunaan sirup juga lebih luas. Sirup dapat digunakan untuk membuat minuman segar, toping pada aneka kue dan puding, serta sebagai bahan pemanis pada beberapa jenis makanan. Kelopak bunga rosela yang berwarna merah menyala dan berasa asam membuatnya cocok untuk dibuat sirup.


Atas dasar pemikiran itu pula, Mak Inten, pembudidaya dan peramu tanaman herba, mencoba suatu inovasi baru minuman segar berkhasiat yang diberinya label Sirup Rosela Mak Inten. Produk olahannya ini, baru diproduksi pas menjelang lebaran.


“Memang pemikiran saya begitu, apa salahnya menyajikan sesuatu yang baru saat lebaran ini. Kebetulan ada permintaan, dan saya mencobanya. Alhamdulillah, sambutan konsumen sangat positif, saat ini pesanan sudah cukup banyak,” ujarnya.


Tapi, dia mengaku tidak serta merta mempunyai pemikiran untuk memproduksi sirup rosella ini. “Sebenarnya ini karena permintaan relasi, seorang dokter dari Aek Kanopan, dan Beliau meminta saya khusus memproduksi sirup ini,” ungkapnya.


Dokter Budi, relasinya di Aek Kanopan tersebut, pernah mengetahui sirup sejenis yang dipasarkan. Namun dia kurang sreg dengan kualitasnya, lalu meminta Mak Inten memproduksinya dengan memasukkan unsur-unsur alamiah yang tentunya berkhasiat untuk kesehatan. Dan yang pasti, kesegarannya tak kalah dengan sirup markisa yang sering disuguhkan orang saat lebaran.


“Untuk konsumsi keluarga, terutama saat lebaran, sirup rosela ini sangat pas. Selain rasanya segar, juga berkhasiat untuk mencegah dan menyembuhkan berbagai penyakit,” ujar Mak Inten, berpromosi.


Khasiat sirup rosella ini, untuk meningkatkan stamina dan daya tahan tubuh, menghindarkan kolestrol, asam urat dan sembelit. Juga mengurani hipertensi, mencegah kanker, mengobati sariawan dan batuk serta menurunkan berat badan.


Memang harga sirup ini agak lebih mahal. Tapi wajar saja karena selain kelezatan dan kesegaran yang ditawarkan, ada sejumlah khasiat fungsional yang terkandung didalamnya. Mak Inten sendiri membandrol sebotol sirup rosela ini seharga Rp 25.000.


“Saat ini saja, orang-orang di sekitar Marelan sudah banyak yang membeli. Bahkan dari kawasan lain seperti Asam Kumbang ada yang khusus datang. Saat ini, promosinya baru dari mulut ke mulut, karena ini memang masih baru dan produksi saya juga belum begitu banyak,” ucapnya.


Namun bagi masyarakat yang ingin merasakan kesegaran dan manfaat sirup rosela ini, dipersilahkannya datang ke Pasar Satu Tengah Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan, atau menghubungi nomor HP-nya 081362111740. (**)


Selasa, September 08, 2009

KERIPIK BUAH CRISPY, YANG BARU KHAS DARI MEDAN




INI masukan berharga bagi masyarakat khususnya generasi muda yang kehilangan pekerjaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) atau sulit mendapatkan pekerjaan. Dengan ketekunan serta inovasi, ternyata bisa menghasilkan kreasi yang berharga dan malah bisa menjadi sumber penghasilan yang lumayan.


Apa yang dilakukan Koad Chamdi, mengubah profesinya dari bekerja di sektor formal kini menjadi wirausahawan mandiri yang dibayangi prospek cerah dari hasil produk usahanya. Setelah PHK dari perusahaan pupuk di Lkokseumawe, dia mengalihkan mata pencahariannya menjadi pengusaha keripik buah, dan hasilnya kini produk olahannya mulai dikenal dan laku di pasaran.


Anda pernah dengar keripik nangka, salak atau nenas? Sebagian mungki n sudah pernah dengar dan merasakannya, namun banyak juga yang masih asing dengan jenis panganan ini karena terbiasa memakan keripik yang terbuat dari singkong atau pisang.


Di tangan Koad, aneka buah bisa menjadi olahan dan dibuat keripik yang mempunyai citarasa gurih dan berpeluang bisnis yang manis. “Ternyata buah-buahan itu bukan saja kaya manfaat, tapi juga kaya olahan,” cetus pria kelahiran 54 tahun lalu ini.


Bersama istrinya Herawati, Koad mengolah berbagai jenis buah menjadi keripik. Dia menamakan produknya Crispy 22.Untuk mengolah buah-buahan segar dan basah menjadi keripik yang garing, jelas Koad tidak menggunakan alat produksi yang biasa. Pria asal Pontianak ini menggunakan penggorengan khusus yang memasak dengan temperatur tertentu. Penggorengan ini berbentuk tabung panjang dan lonjong yang tertutup. Untuk melihat hasil olahan pemasak harus mengintip dari kaca sempit di atas tabung. Penggorengan diletakkan di atas kompor, dihubungkan dengan kolam bak kecil berisi air yang mengatur temperaturnya. “Namanya vacuum frying, khusus hanya untuk menggoreng olahan yang crispy,” jelas Koad.


Selain nenas, nangka dan salak, Koad juga berinovasi untuk menguji buah-buahan lain, seperti belimbing, semangka, apel bahkan cabai. “Cabai ternyata enak juga dijadikan keripik, pedasnya tidak hilang dan rasanya garing,” jelas bapak tiga orang anak ini.


Di dalam vacuum frying, buah dimasak dengan minyak goreng biasa. Hasil gorengan tidak banyak mengurangi bentuk buah potongan. Hanya saja potongan buah yang besar, menyusut karena kandungan airnya menyusut.


Dalam sehari, Koad bias menghasilkan sekitar 5 kilogram keripik, masing-masing nangka, nenas, dan salak. Jenis ini kadang ia tambahkan dengan jenis buah lain yang sudah pernah ia coba. “Saat ini saya masih mengamati bagaimana tanggapan masyarakat, olahan buah ini kan masih tergolong jarang di tengah masyarakat, kalau nanti sudah banyak pesanan, mungkin akan saya tambah dengan jenis yang lain,” papar Koad yang baru memulai usaha ini empat bulan lalu.


Koad juga mengemas per satu ons keripik buah dalam bungkus aluminium. Pengemasan yang apik dan menarik ini semakin membuat tampilan keripik menjadi unik. Rasa yang beda dengan kemasan unik, tentunya menjadi nilai tersendiri bagi produk tersebut.


Kowad menghargai perbungkus keripik olahannya Rp 9.000 dengan keuntungan hingga 30 persen.


Namun Koad mengakui, promosi dan pemasaran produknya ini masih dari mulut ke mulut. Agen atau konsumen yang sudah tahu datang langsung ke alamatnya di Jalan Beringin No. 25 Kompleks Wartawan Medan. Karena itu, tidak setiap hari Koad bekerja, terkadang ia menunggu hingga stok habis dan pesanan datang.


“Tidak tentu juga kapan saya memasak, tapi yang jelas dalam sebulan saya bisa menghabiskan modal Rp2 juta hanya untuk membeli buah-buahan,” paparnya.


Dia mengungkapkan, untuk buah, dipilihnya sesuai kualitas dan spesifikasi. Seperti nenas yang digunakan adalah nenas Labuhan Bilik. Atau salak yang ia dapatkan dari petani di kawasan pinggir Sungai Deli Medan.


Koad mempunyai harapan, suatu saat produk olahannya ini menjadi oleh-oleh khas Medan. “Selama ini oleh-oleh khas Medan, kalau tidak bika ambon ya bolu. Apa salahnya, orang punya pilihan lain seperti keripik buah ini,” ucapnya.


Namun untuk mewujudkan harapannya tersebut, Koad mengaku butuh dana yang lebih besar untuk modal usahanya guna membeli minimal satu lagi perangkat vacuum frying. Untuk alat ini saja harganya mencapai Rp37 juta, ditambah alat-alat lain seperti alat press dan lainnya dengan harga bervariasi.


“Karena itu, saya berterimakasih kepada teman-teman dari UKM Center Sumut yang telah memberi perhatian pada usaha saya ini. Mudah-mudahan mereka bisa ikut memperjuangkan saya mendapat tambahan modal,” katanya.


Setidaknya, dia berharap, suatu saat usaha ini bisa menjadi lapangan kerja bagi masyarakat sekitar, khususnya bagi anak-anak muda. Karena jika usaha ini berjalan dengan kapasitas produksi yang lebih besar, akan banyak pekerjaan yang dilakukan seperti mengupas buah, mencuci, menggoreng hingga mengemas. (**)

KUALITAS MEMBUAT UKM SEPATU PINKO BERTAHAN

APA yang menjadi kendala produk usaha kecil dan menengah (UKM) sehingga tak mampu bertahan dalam persaingan usaha? Permodalan, persaingan produk, itu yang sering dikeluhkan para UKM, termasuk mereka yang memproduksi sepatu dan sandal.
Ambil contoh, industri kerajinan sepatu dan sandal di kawasan Pusat Industri Kecil (PIK) Menteng atau perajin di kawasan Sukaramai Medan. Geliat usaha mereka kini semakin berkurang seiring melemahnya permodalan serta beratnya persaingan dengan produsen dari Pulau Jawa.

Tapi kendala tersebut dimentahkan Nurdalmi, usahawan sepatu yang juga mulai aktif melakukan pelatihan bagi remaja di bidang pembuatan sepatu, dalam naungan UKM Center Sumut.

Dia mengatakan, usaha sepatu yang telah dirintisnya sejak tahun 1990, bisa bertahan walau belumlah menjadi suatu usaha yang berkembang pesat. Kuncinya, dia mengatakan, kualitas.

“Kalau saya melihat, kendala usaha pembuatan sepatu ini bukan pendanaan, tapi mutu atau kualitas. Kalau kualitas bagus, modal akan datang sendiri,” ujarnya.

Itu telah dibuktikannya, minimal dengan tetap mampu mempertahankan produk sepatunya yang bermerek Pinko untuk tetap laku di pasaran. “Ini karena saya tidak mau menurunkan kualitas. Kebanyakan produsen akan menurunkan kualitas begitu mereka kesulitan modal. Tapi saya tidak berani melakukan itu,” ucapnya lagi.

Karena itu, produk sepatunya yang dipasarkan dengan sistem door to door atau titip ke koperasi-koperasi perusahaan seperti Bank Indonesia, Bank Mandiri atau Dekranas, tetap diminati konsumen. “Karena banyak konsumen tahu mana yang berkualitas, walau harganya pasti sedikit lebih tinggi,” ucap pria yang juga menjabat Sekretaris UKM Center Sumut ini.

Dia mengatakan, pemesan sepatunya datang sendiri ke rumah sekaligus workshop-nya di Jalan Brigjen Zein Hamid Gg Manggis No. 10 atau ke pameran-pameran yang sering diikutinya. Dalmi tidak memasarkannya melalui distributor karena keuntungannya yang sangat kecil hanya sekitar 5 persen, sementara dengan sistem door to door ini dia bisa mendapatkan 40 sampai 50 persen.

Sejumlah instansi dan perusahaan kini menjadi pelanggannya. Seperti penjahit Chaidir yang mempercayakan sepatu karyawannya ke produk buatan Dalmi, pegawai-pegawai Disperindag bahkan pejabat seperti Kasim Siyo juga menggunakan sepatu buatannya.

Dalmi membuka sedikit rahasia tentang produk sepatu yang banyak dipasarkan. Kalau soal kulit, dia menyatakan Indonesia mempunyai produk nomor satu dengan pabrik di Sidoarjo Jawa Timur. Tapi tapaknya yang banyak disesuaikan karena harganya relatif tinggi dan itu merupakan barang impor. Kualitas tapak itulah yang sering ‘diutak-atik’ produsen, untuk menyesuaikan ongkos produksinya.

“Lalu soal tapak yang lekang, itu bukan karena kualitas lem. Lem yang digunakan semua sama, tapi itu tergantung kualitas kerja,” ungkapnya.

Karena tetap mempertahankan mutu bahan serta kualitas kerja, Dalmi berani menjamin sepatu produksinya tidak gampang lekang.Itu bukan sekadar jaminan kosong, namun konsumennya yang sudah mengenal tetap setia menggunakan produknya walau dengan harga relatif lebih mahal. Dia menetapkan harga bervariasi tergantung model dan kualitas bahan, dari seratusan ribu hingga ada yang berharga Rp 450 ribu sepasang. “Kalau tempahan khusus, bahkan bisa mencapai harga satu juta rupiah,” ungkapnya.

Soal produksi, Dalmi mempekerjakan empat orang tenaga terampil dengan produksi rata-rata delapan pasang per hari, tergantung kebutuhan pasar atau pesanan.

Kini, Dalmi berkeinginan ilmunya tersebut bisa diserap generasi muda yang mempunyai minat menjadi usahawan pembuat sepatu. Karena itu, melalui wadah UKM Center dia telah membuat pelatihan, diharapkan setelah itu mereka ikut magang ke produsen sepatu dan setelah mahir bisa mandiri.

“Secara SDM, sebenarnya kita sangat bagus. Tapi sayangnya kita kalah di teknologi. Saya harap pemerintah melalui instansi terkait bisa memperhatikan hal ini, agar produsen sepatu kita terbantu dari segi permodalan dan teknologi,” pungkasnya. (**)

Sabtu, September 05, 2009

UKM CENTER FASILITASI SERTIFIKASI TANAH USAHAWAN KECIL DAN MENENGAH

MINAT pengembangan usaha para usahawan kecil dan menengah, sering terkendala permodalan. Peluang mendapatkan bantuan modal dari perbankan atau lembaga permodalan lainnya, kadang juga terbentur persyaratan agunan, semisal tanah yang harus memiliki sertifikasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).Ini dikarenakan, jika pun pengusaha tersebut mampu mengajukan agunan, namun sering tak memenuhi syarat yakni sertifikat dari BPN tersebut.Dilatarbelakangi kondisi tersebut, UKM Center Sumatera Utara menggagas suatu program sertifikasi tanah milik usahawan kecil dan menengah (UKM) tersebut, agar suatu saat jika dibutuhkan untuk menjadi agunan guna mendapat tambahan modal usaha, dapat digunakan.Ketua UKM Center Sumut, Ir Deni Faisal Mirza, mengatakan program ini merupakan kerjasama Dinas Koperasi dan UKM Medan dengan BPN Medan. Sementara UKM Center Sumut ditunjuk sebagai fasilitator.“Peran kami di sini untuk mencari UKM yang ingin mensertifikasi tanahnya,” kata Deni, baru-baru ini.Deni menjelaskan, program ini merupakan hasil rekomendasi seminar sentra kewirausahaan pemuda yang diselenggarakan Maret 2009 lalu oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga RI yang diajukan ke Departemen Koperasi dan UKM RI. “Melalui tahapan tersebut, akhirnya program ini ditindaklanjuti BPN. Akhirnya keluarlah program sertifikasi ini,” ujar Deni.Sebagai fasilitator, UKM Center Sumut diberi kesempatan untuk mengumpulkan 300 persil tanah milik pelaku UKM di Medan. Syaratnya, untuk tanah pertanian maksimal seluas 2 hektar.“Tetap ada biaya yang dikeluarkan, tapi dengan harga yang sangat murah, tergantung PBB, dan tentunya di bawah tarif yang biasa untuk umum. Sekarang sudah ada 20 persil yang telah didaftarkan. Jadi masih ada kesempatan untuk 280 persil lagi. Tentunya kami selektif, benar-benar memperuntukkan kesempatan ini bagi kalangan UKM,” paparnya.Untuk itu, dia menghimbau para UKM yang berminat untuk mendaftarkan diri ikut program ini. Mereka dapat menghubungi sekretariat UKM Center Sumut di Jalan Al Falah Medan.Deni kembali mengatakan, dengan berjalannya program ini, berarti semakin intens upaya yang dilakukan UKM Center Sumut untuk menjembatani para pelaku UKM dengan unsur pendukung usaha tersebut. Sebelumnya mereka telah menjembatani hubungan pengusaha dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) dalam hal izin usaha. Lalu untuk permodalan, mereka juga sudah menjalin hubungan ke pihak perbankan dan BUMN atau BUMD.“Harapan kami, program yang kami jalankan ini bisa membantu para UKM terutama yang datang dari kalangan usia muda, untuk mengembangkan usahanya agar bisa lebih maju dan menjamin penghidupan di masa mendatang,” ucap Deni. (**)

MENGEMBANGKAN SENTRA BATIK DAN TELEKUNG DI TEMBUNG

DUA dari sejumlah usaha binaan UKM Center Sumut adalah pembuatan batik dan telekung. Secara kebetulan, dua jenis usaha ini berada di satu kawasan yakni Kecamatan Medan Tembung, tepatnya di Jalan Bersama sehingga ke depan diproyeksikan sebagai sentra bersama perajin batik dan telekung.

Sentra pembuatan batik di Jalan Bersama Gg Musyawarah telah melatih 20 orang dengan instruktur Dra Nur Cahaya. Pelatihan sejak Februari 2009, mampu menjadikan sebagian dari mereka sebagai perajin yang telah mengikuti workshop serta pameran.

“Mereka ini sudah cukup terampil, tinggal memantapkan tehnik pewarnaan yang rencananya akan mendatangkan instruktur dari Jawa,” kata Nur Cahaya.

Dua jenis batik yang dikembangkan adalah batik tulis dengan motof khas Jawa serta batik cap atau cetak dengan motif Gorga atau khas Batak. Produksi batik dari sentra ini sudah dipamerkan pada arena pameran teknologi di Langkat, baru-baru ini. “Ya, lumayanlah, untuk memperkenalkan produk baru kami ke masyarakat. Setidaknya beberapa lembar hasil produksi kami telah laku dipasarkan, walau dengan harga minimal. Hitung-hitung untuk promosi,” kata Asih, salah seorang perajin.

Harga yang ditetapkan untuk satu lembar batik tulis memang masih relatif sangat murah, antara Rp 50 ribu hingga Rp 75 ribu. Padahal yang ideal harganya sekitar Rp 100 ribu. Demikian juga dengan batik khas Batak, masih dijual seharga Rp 55 ribu hingga Rp 60 ribu.

Khusus untuk batik khas Batak ini, mereka sudah mendapat respons pasar berupa pesanan dari instansi pemerintahan untuk bahan pakaian seragam. Al Washliyah juga memanfaatkan produk mereka untuk digunakan sebagai bahan pakaian seragam organisasi tersebut.

“Namun kami masih terkendala modal serta peralatan, untuk memproduksi dalam jumlah lebih besar,” ungkap Nur Cahaya.

Sementara itu Mardiana Situmorang yang membina sejumlah wanita untuk mengikuti pelatihan pembuatan telekung di Jalan Bersama No. 98, juga mengungkapkan problematika yang sama. “Inginnya sih, memasarkan produk yang telah kami buat. Tapi modal tak cukup, sehingga terpaksa produksi kami tolak ke pedagang,” ujarnya.

Selain itu, dia mengaku harga kain untuk pembuatan telekung itu cukup mahal, yang menjadi kendala lain mereka memproduksi dalam jumlah lebih banyak.Di lokasi kursus milik Mardiana, bekerjasama dengan UKM Center Sumut sejak dua bulan lalu telah melatih 10 peserta dan Juli 2009 ini masuk gelombang kedua 10 orang lagi. “Kalau bisa, selepas latihan di sini kami bisa menekuni usaha sendiri, untuk membantu ekonomi keluarga,” ujar Nur Asiah, salah seorang peserta kursus.

Ketua UKM Center Sumut, Ir Deni Faisal Mirza didampingi Ketua UKM Center Medan Tembung, M Taufik, mengatakan untuk kedua jenis usaha ini mereka akan terus membantu hingga akhirnya nanti para perajin mendapatkan pasar bagi hasil produksinya. “Yang jelas, kami membantu mereka termasuk permodalan untuk pengembangan usahanya,” ujar Deni.

Diakuinya, setelah menjalani kursus para perajin yang memulai dari nol ini tidak bisa langsung terjun ke persaingan usaha. Seperti yang diterapkan untuk peserta pelatihan pembuatan telekung, setelah selesai mereka akan dimagangkan ke pengusaha yang telah berhasil, setelah benar-benar mahir baru mereka dilepas untuk berusaha sendiri.

“Diharapkan mereka jadi pelaku usaha industri rumahtangga. Tentunya dengan bantuan permodalan, agar mereka bisa memproduksi sendiri dan menggandengkannya dengan pengusaha yang sudah punya pasar. Untuk diketahui, pasar telekung saat ini cukup besar hingga ke Malaysia,” papar Deni. (**)

UKM Center Sumut : MODEL PEMBINAAN PEMUDA MENJADI WIRAUSAHAWAN MANDIRI

SEJAK didirikan tahun 2005 dan kemudian diresmikan oleh Deputi Menpora Bidang Kewirausahaan Pemuda Drs H Sudrajat Rasyid MM awal 2006, UKM Center Sumatera Utara telah menjelma menjadi model pembinaan pemuda menjadi wirausahawan mandiri. Hasilnya pun, sejumlah usahawan kecil dan menengah (UKM) binaannya telah berhasil mengembangkan usaha sekaligus mengangkat derajat secara ekonomi.

“Setelah deklarasi UKM Center Sumut pada 6 Januari 2006 oleh Bapak Deputi Menpora Bidang Kewirausahaan Pemuda, di provinsi lain pun mulai didirikan lembaga yang sama dengan mengambil peran yang sama pula. UKM Center Sumut menjadi model pembinaan bagi Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga,” kata Ketua UKM Center Sumut, Ir Deni Faisal Mirza, baru-baru ini.


Deni mengaku bangga, sekaligus gembira bahwa apa yang mereka rintis sejak awal, kini mulai menapak naik dan menunjukkan hasil dari pembinaan, pelatihan serta pendampingan yang mereka lakukan kepada pelaku UKM khususnya dari kalangan usahawan muda.Dipaparkan, UKM Center kini membina sejumlah usahawan yang bergerak di bidang pembuatan makanan, sepatu, sandal, tas, telekung (mukena), batik dan lain-lain.


Mereka ini, yang mendapatkan pembinaan sekaligus pelatihan yang difasilitasi Kemenegpora. Staf Kemenegpora secara berkala berkunjung langsung ke pelaku-pelaku usaha yang dibina UKM Center Sumut. Hasilnya, seperti dipaparkan di awal tadi, selain mengangkat nama produk untuk lebih dikenal di pasar, sejumlah lomba inovasi bisnis pun telah mampu mengangkat nama sang usahawan sekaligus hasil usahanya diakui menjadi produk unggulan yang pantas menyandang predikat juara.


Seperti di tahun 2007, usahawan muda Roma Girsang yang merupakan binaan UKM Center Sumut menjuarai lomba inovasi bisnis tingkat nasional dengan produk unggulannya kerajinan tangan dari kulit binatang. Lalu di 2008, lembaga UKM Cenohter Sumut masuk nominasi 10 besar terbaik sentra kewirausahaan pemuda (SKP) sehingga berhak menerima bantuan dana block grand sebesar Rp 50 juta dari Kemenegpora.


“Dana sebesar itu tidak untuk dinikmati sendiri oleh pengurus, tapi dikucurkan untuk membina wirausahawan muda untuk membentuk sentra-sentra usaha. Bentuk kegiatannya meliputi pelatihan, manajemen pengelolaan, serta pengadaan sarana dan prasarana yang terus berlangsung hingga sekarang,” kata Deni.


Dia memberi contoh, sentra industri sepatu di Jalan Brigjen Zein Hamid Delitua serta Jalan Pancasila Medan Denai, kemudian sentra pelatihan pembuatan batik tulis dan batik cap motif khas Batak di Jalan Bersama Gg Musyawarah Medan Tembung. “Di sentra pelatihan pembuatan batik ini, sudah dua kelompok yang menjalani latihan dengan jumlah tiap kelompok sepuluh orang. Hal yang sama untuk sentra pelatihan pembuatan telekung yang sudah memasuki gelombang kedua dengan jumlah peserta masing-masing sepuluh orang juga,” ungkap Deni.


Sentra pelatihan pembuatan telekung di Jalan Bersama No. 98 Medan Tembung, diikuti wanita khususnya remaja tamatan SMA. Dua sentra pelatihan yang berdekatan ini, nantinya diharapkan menjadi perpaduan yang menghasilkan batik serta telekung berkualitas untuk meraih pangsa pasar di sektor garmen.


Satu lagi, sentra pembuatan makanan, yakni jenis makanan sumpia di Jalan Pahlawan Gg Perwira. “Di sini, justru sudah berkembang sangat pesat karena di lingjkungan itu sudah benar-benar menjadi sentra perajin sumpia. Ini luar biasa, dan kita berharap sektor usaha yang sudah berjalan ini bisa terus dikembangkan,” kata Deni.


Ke depan, UKM Center Sumut memproyeksikan pegembangan sentra-sentra perajin untuk produk lain. Mereka akan melatih 50 pemuda putus sekolah berusia 15 sampai 30 tahun membuat makanan olahan aneka rempeyek. “Untuk makanan rempeyek ini, produksinya sudah berlangsung dengan tiga jenis bahan yakni kacang tanah, kacang hijau serta ikan teri asin. Namun kami mengajukan proposal lifeskill untuk mendapatkan dana bantuan Kemenegpora kerjasama dengan Depdiknas. Dari Jakarta sudah memverifikasi langsung, termasuk lokasi pelatihan di dua tempat yakni Jalan Sei Serayu dan UKM Center.


Karena itu pula, UKM Center Sumut tengah mengembangkan showroom sekaligus kantor di Jalan Al Falah Medan yang diharapkan bisa menjadi lokasi pameran serta promosi untuk membantu pemasaran produk-produk usaha binaan tersebut. Harapan lainnya, bukan cuma sentra yang terbentuk, tapi incubasi bisnis sentra kewirausahaan pemuda. “Sifatnya berupa pendidikan dan pelatihan kepada pemilik usaha kecil untuk lebih mengembangkan usahanya,” sambung Deni.


Dan sejumlah kerjasama juga telah dilakukan dengan perusahaan BUMN yang memiliki dana CSR PKBL seperti PTPN 3, PTPN 4, Pertamina serta Asuransi Export Indonesia. Khusus PTPN 4, telah mengucurkan dana antara Rp 10 juta hingga Rp 35 juta bagi 20 pengusaha yang bergerak di bidang pembuatan makanan, sepatu, bantal, telekung, sembako, peternakan lele dumbo hingga pengusaha barang bekas (botot).


“Syaratnya, usaha-usaha tersebut tentu jelas fisiknya serta tengah berjalan. Kami juga membantu pembuatan proposal bagi usahawan yang ingin mendapatkan dana bantuan tersebut,” sambung Deni seraya mengatakan pihaknya juga menjalin kerjasama dengan institusi terkait lainnya seperti Disperindag, Dinas Koperasi dan UKM, lembaga pendidikan USU serta BPN. Yang terakhir ini, kerjasama yang dilakukan berupa sertifikasi tanah milik pelaku UKM, kemudian yang ingin mendapatkan modal bisa mereka bantu untuk mnghubungkannya dengan Bank Sumut dengan membawa sertifikat tanah tadi sebagai jaminan. (**)