KAUM muda seolah sedang mendapat angin segar. Peran kaum muda - terutama dalam politik serta kepemimpinan nasional dan lokal - muncul sebagai sebuah keniscayaan. Dalam konteks politik nasional, kepemimpinan kaum muda mendapat spirit perjuangan ketika Indonesia merayakan 100 tahun kebangkinan nasional.
Ibarat sebuah organisme, organisasi negara membutuhkan penyegaran, atau pembeliaan. Sebuah organisasi yang tertutup kepada pembeliaan akan menjadikan organisasi itu mandek dan pada akhirnya mati. Dalam konteks partai politik, pembeliaan itu disebut dengan kaderisasi. Karena itulah, sebuah partai politik meniscayakan munculnya kader-kader muda yang akan meneruskan roda kepemimpinan organisasi. Dalam konteks ini, munculnya kaum muda adalah keharusan bagi keberlanjutan organisasi dan kematangan demokrasi.
Mengutip pengamat politik Universitas Indonesia, Eep Saefulloh Fatah, peta perpolitikan nasional - dan lokal - saat ini memperlihatkan gejala gerontokrasi. Yakni pemerintahan oleh kaum kaum tua - di atas lima puluh tahun. Kaum muda yang berkiprah dalam pentas politik nasional masih sangat kurang. Karena itulah, tak heran kalau muncul berbagai desakan agar kaum tua legowo dan menyerahkan pucuk pimpinan kepada kaum muda.
Wacana kepemimpinan kaum muda yang mulai dicetuskan pada tanggal 20 Mei 2008 ini terus bergulir. Partai politik - besar dan kecil - menanggapi desakan itu dengan serius dan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah melalui pencalonan anggota legislatif. Hampir semua partai politik mengakomodasi calon kaum muda. Terlepas dari apakah dia potensial atau karena karbitan, yang penting usianya terbilang muda.
’Singa-singa’ muda ini diyakini akan membawa angin perubahan. Kepercayaan masyarakat pemilih kepada kaum muda juga meningkat seiring makin rapuhnya peran kepemimpinan ’singa tua’.
Pertanyaannya, apakah partai politik yang mengakomodasi caleg muda terbesar otomatis mengantongi suara paling banyak? Apakah dengan menjual tampang muda caleg muda dapat dengan mudah terpilih menjadi anggota dewan? Tentu tidak semudah itu jawabnya.
Kepercayaan (trust) tidak serta merta mendorong masyarakat menjatuhkan pilihan kepada calon kaum muda. Karena itu, harus ada jurus-jurus manjur agar kepercayaan itu berubah wujud menjadi keterpilihan. Atau justru kita harus menelaah kritikan, bahwa wacana pemimpin muda dan tua hanya berorientasi pada kekuasaan semata. Sebab katanya, jika politik dibagi-bagi berdasarkan usia tidak elegan. Harusnya, untuk memilih seorang pemimpin dilihat berdasarkan kemampuan dan pikiran, bukan dikotomi tua-muda.
Nah, jika begitu kaum muda ditantang dan diuji. Bukan hanya berhadap-hadapan dengan politisi tua, tapi elektabilitasnya harus dibuktikan akan diuji di lapangan, khususnya di panggung kampanye. Apakah mereka benar-benar mampu atau sekadar meminta jatah. (**)
Menciptakan Imej yang Muda yang Berkarya
APA sebenarnya latar belakang ketertarikan, juga visi misi para calon anggota legislatif (Caleg) muda untuk terjun ke kancah persaingan Pemilu 2009 nanti?Bobby Oktavia Zulkarnain, calon legislatif dari Partai Matahari Bangsa (PMB) untuk DPRD Medan dari Daerah Pemilihan IV (Medan Timur, Perjuangan dan Tembung) mengutarakan latarbelakangnya ikut dalam persaingan merebut kursi legislatif, untuk membuktikan bahwa orang muda juga mampu berbuat untuk masyarakat. Dia merasa mampu berbuat untuk masyarakat, dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki.
”Saya pribadi ingin menciptakan imej yang muda yang berkarya. Bahwa sekarang ini, orang-orang muda tak bisa dipandang sebelah mata atau dianggap remeh perannya dalam kehidupan bermasyarakat termasuk dalam kiprahnya di dunia politik,” katanya.
Bobby tak mau disebut latah-latahan atau sekadar terikut euforia reformasi. Pengalaman di organisasi kemasyarakatan serta menjadi kader partai politik, menurutnya, menjadi modal dan menjadikannya tahu dengan seluk-beluk politik dan konsekuensi yang harus dilakukan jika nantinya terpilih menjadi anggota legislatif.
”Saya optimistis keberadaan anak muda mampu membawa perbaikan pada legislatif secara kelembagaan. Jika terpilih, kami kaum muda tetap akan menjadi sebuah kekuatan pembaharu," ujar Wakil Sekretaris IPK Medan Perjuangan yang juga Danyon Satrio Senopati Pujakesuma Kota Medan.
Dia pun tak memungkiri, harapan masyarakat terhadap para caleg dari kalangan muda sangat besar, seiring krisis kepercayaan terhadap politikus-politikus senior yang nyatanya banyak tak menyahuti aspirasi konstituennya.
”Kalau hanya sekadar modal nekat, dan tak punya kemampuan, akan sangat berat konsekuensinya karena pada akhirnya masyarakat juga yang akan menilai kinerja para wakilnya tersebut. Jadi, untuk terjun menjadi Caleg saja sudah harus diuji kemampuannya, apalagi jika nantinya benar-benar terpilih,” ujar putra almarhum Drs H Zulkarnain Malik, tokoh PPP yang juga pernah menjadi anggota legislatif di DPRD Medan dan Sumut.
Hampir senada yang dikatakan Dessy Listiawaty, Caleg nomor 2 Dapem Deli Serdang untuk DPRD Sumatera Utara dari Partai Pemuda Indonesia (PPI). Dia juga mengatakan, kehadiran mereka para ’singa muda’ dalam kancah politik, juga untuk menyahuti suara nurani masyarakat dan diri sendiri yang rindu perubahan dalam tatanan sosial masyarakat, di tengah krisis kepercayaan kepada politikus senior yang justru banyak mengecewakan.
”Masyarakat butuh nuansa baru di perpolitikan, tidak ingin wajah yang itu-itu saja dengan kinerja yang sulit diharapkan. Secara pribadi, kerinduan akan perubahan itu ada di diri saya, yang akhirnya memunculkan keinginan untuk terjun menyahuti aspirasi perubahan tersebut,” ucapnya.
Soal paradigma bahwa Caleg muda miskin pengalaman, Dessy menampiknya. Dia katakan, pengalaman bukan tergantung usia, karena banyak juga anak muda sekarang yang punya seabreg pengalaman dan kemampuan. ”Pengalaman bisa didapat dari proses sosialisasi, apalagi generasi sekarang mungkin lebih cepat mengakses pengetahuan baik itu pendidikan formal ayaupun nonformal,” katanya.
Dessy sendiri mengaku, di usianya yang 27 tahun sekarang ini dia banyak menimba ilmu dan bersosialisasi dari aktivitasnya di LSM anak yang dibinanya. Serta pengalaman politik dengan menjadi kader PDI Perjuangan dan kini menjabat pengurus di DPD PPI Sumut. ”Jadi sebenarnya kalau dibilang masih mentah di dunia politik, tidak juga,” katanya.
Sedangkan Drs Husni Lubis, calon legislatif Partai Amanat Nasional (PAN) untuk DPRD Sumatera Utara dari daerah pemilihan Asahan, Tanjung Balai dan Batubara, dihadapkan pada wacana pemimpin atau calon legislatif tua-muda, mengakui calon legislatif tua unggul di pengalaman. “Tapi yang muda, di samping lebih enerjik, juga etos kerjanya relatif lebih tinggi. Satu lagi keuntungannya, masyarakat kini butuh figur yang lebih berani mengontrol pemerintah dan belum memiliki ikatan-ikatan dengan pemerintahan. Dan itu diarahkan pada sosok muda,” ucapnya.
Jurus Kampanye
Mengandalkan figur muda saja memang tidak cukup. Butuh pendekatan dan strategi yang lebih populis agar kemudaan bermetamorfosa melahirkan kepercayaan dan keterpilihan.
Husni Lubis mengatakan, dalam kampanye dirinya menggunakan jurus pendekatan budaya lokal atau kultural untuk memenangkan persaingan. ”Yang terpenting sebenarnya, bagaimana menyentuh hati masyarakat dengan pendekatan-pendekatan yang kita lakukan. Pertama pendekatan melalui mesin partai sendiri, dan kedua pendekatan kultural melalui keluarga,” katanya.
Karena itu, Husni sering mengunjungi konstituen dari pondok ke pondok, dari rumah ke rumah. Ia juga menggalang tokoh muda setempat untuk melakukan perubahan. Lewat pengalaman yang dimiliki, dia yakin bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat baik itu ilmu maupun pengalamannya tadi, jika terjun langsung ke masyarakat.
”Tiga kali saya mengikuti pelatihan tim tehnis Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan, itu bisa menjadi bekal untuk memberi sentuhan langsung ke masyarakat desa,” katanya. (**)
Ibarat sebuah organisme, organisasi negara membutuhkan penyegaran, atau pembeliaan. Sebuah organisasi yang tertutup kepada pembeliaan akan menjadikan organisasi itu mandek dan pada akhirnya mati. Dalam konteks partai politik, pembeliaan itu disebut dengan kaderisasi. Karena itulah, sebuah partai politik meniscayakan munculnya kader-kader muda yang akan meneruskan roda kepemimpinan organisasi. Dalam konteks ini, munculnya kaum muda adalah keharusan bagi keberlanjutan organisasi dan kematangan demokrasi.
Mengutip pengamat politik Universitas Indonesia, Eep Saefulloh Fatah, peta perpolitikan nasional - dan lokal - saat ini memperlihatkan gejala gerontokrasi. Yakni pemerintahan oleh kaum kaum tua - di atas lima puluh tahun. Kaum muda yang berkiprah dalam pentas politik nasional masih sangat kurang. Karena itulah, tak heran kalau muncul berbagai desakan agar kaum tua legowo dan menyerahkan pucuk pimpinan kepada kaum muda.
Wacana kepemimpinan kaum muda yang mulai dicetuskan pada tanggal 20 Mei 2008 ini terus bergulir. Partai politik - besar dan kecil - menanggapi desakan itu dengan serius dan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah melalui pencalonan anggota legislatif. Hampir semua partai politik mengakomodasi calon kaum muda. Terlepas dari apakah dia potensial atau karena karbitan, yang penting usianya terbilang muda.
’Singa-singa’ muda ini diyakini akan membawa angin perubahan. Kepercayaan masyarakat pemilih kepada kaum muda juga meningkat seiring makin rapuhnya peran kepemimpinan ’singa tua’.
Pertanyaannya, apakah partai politik yang mengakomodasi caleg muda terbesar otomatis mengantongi suara paling banyak? Apakah dengan menjual tampang muda caleg muda dapat dengan mudah terpilih menjadi anggota dewan? Tentu tidak semudah itu jawabnya.
Kepercayaan (trust) tidak serta merta mendorong masyarakat menjatuhkan pilihan kepada calon kaum muda. Karena itu, harus ada jurus-jurus manjur agar kepercayaan itu berubah wujud menjadi keterpilihan. Atau justru kita harus menelaah kritikan, bahwa wacana pemimpin muda dan tua hanya berorientasi pada kekuasaan semata. Sebab katanya, jika politik dibagi-bagi berdasarkan usia tidak elegan. Harusnya, untuk memilih seorang pemimpin dilihat berdasarkan kemampuan dan pikiran, bukan dikotomi tua-muda.
Nah, jika begitu kaum muda ditantang dan diuji. Bukan hanya berhadap-hadapan dengan politisi tua, tapi elektabilitasnya harus dibuktikan akan diuji di lapangan, khususnya di panggung kampanye. Apakah mereka benar-benar mampu atau sekadar meminta jatah. (**)
Menciptakan Imej yang Muda yang Berkarya
APA sebenarnya latar belakang ketertarikan, juga visi misi para calon anggota legislatif (Caleg) muda untuk terjun ke kancah persaingan Pemilu 2009 nanti?Bobby Oktavia Zulkarnain, calon legislatif dari Partai Matahari Bangsa (PMB) untuk DPRD Medan dari Daerah Pemilihan IV (Medan Timur, Perjuangan dan Tembung) mengutarakan latarbelakangnya ikut dalam persaingan merebut kursi legislatif, untuk membuktikan bahwa orang muda juga mampu berbuat untuk masyarakat. Dia merasa mampu berbuat untuk masyarakat, dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki.
”Saya pribadi ingin menciptakan imej yang muda yang berkarya. Bahwa sekarang ini, orang-orang muda tak bisa dipandang sebelah mata atau dianggap remeh perannya dalam kehidupan bermasyarakat termasuk dalam kiprahnya di dunia politik,” katanya.
Bobby tak mau disebut latah-latahan atau sekadar terikut euforia reformasi. Pengalaman di organisasi kemasyarakatan serta menjadi kader partai politik, menurutnya, menjadi modal dan menjadikannya tahu dengan seluk-beluk politik dan konsekuensi yang harus dilakukan jika nantinya terpilih menjadi anggota legislatif.
”Saya optimistis keberadaan anak muda mampu membawa perbaikan pada legislatif secara kelembagaan. Jika terpilih, kami kaum muda tetap akan menjadi sebuah kekuatan pembaharu," ujar Wakil Sekretaris IPK Medan Perjuangan yang juga Danyon Satrio Senopati Pujakesuma Kota Medan.
Dia pun tak memungkiri, harapan masyarakat terhadap para caleg dari kalangan muda sangat besar, seiring krisis kepercayaan terhadap politikus-politikus senior yang nyatanya banyak tak menyahuti aspirasi konstituennya.
”Kalau hanya sekadar modal nekat, dan tak punya kemampuan, akan sangat berat konsekuensinya karena pada akhirnya masyarakat juga yang akan menilai kinerja para wakilnya tersebut. Jadi, untuk terjun menjadi Caleg saja sudah harus diuji kemampuannya, apalagi jika nantinya benar-benar terpilih,” ujar putra almarhum Drs H Zulkarnain Malik, tokoh PPP yang juga pernah menjadi anggota legislatif di DPRD Medan dan Sumut.
Hampir senada yang dikatakan Dessy Listiawaty, Caleg nomor 2 Dapem Deli Serdang untuk DPRD Sumatera Utara dari Partai Pemuda Indonesia (PPI). Dia juga mengatakan, kehadiran mereka para ’singa muda’ dalam kancah politik, juga untuk menyahuti suara nurani masyarakat dan diri sendiri yang rindu perubahan dalam tatanan sosial masyarakat, di tengah krisis kepercayaan kepada politikus senior yang justru banyak mengecewakan.
”Masyarakat butuh nuansa baru di perpolitikan, tidak ingin wajah yang itu-itu saja dengan kinerja yang sulit diharapkan. Secara pribadi, kerinduan akan perubahan itu ada di diri saya, yang akhirnya memunculkan keinginan untuk terjun menyahuti aspirasi perubahan tersebut,” ucapnya.
Soal paradigma bahwa Caleg muda miskin pengalaman, Dessy menampiknya. Dia katakan, pengalaman bukan tergantung usia, karena banyak juga anak muda sekarang yang punya seabreg pengalaman dan kemampuan. ”Pengalaman bisa didapat dari proses sosialisasi, apalagi generasi sekarang mungkin lebih cepat mengakses pengetahuan baik itu pendidikan formal ayaupun nonformal,” katanya.
Dessy sendiri mengaku, di usianya yang 27 tahun sekarang ini dia banyak menimba ilmu dan bersosialisasi dari aktivitasnya di LSM anak yang dibinanya. Serta pengalaman politik dengan menjadi kader PDI Perjuangan dan kini menjabat pengurus di DPD PPI Sumut. ”Jadi sebenarnya kalau dibilang masih mentah di dunia politik, tidak juga,” katanya.
Sedangkan Drs Husni Lubis, calon legislatif Partai Amanat Nasional (PAN) untuk DPRD Sumatera Utara dari daerah pemilihan Asahan, Tanjung Balai dan Batubara, dihadapkan pada wacana pemimpin atau calon legislatif tua-muda, mengakui calon legislatif tua unggul di pengalaman. “Tapi yang muda, di samping lebih enerjik, juga etos kerjanya relatif lebih tinggi. Satu lagi keuntungannya, masyarakat kini butuh figur yang lebih berani mengontrol pemerintah dan belum memiliki ikatan-ikatan dengan pemerintahan. Dan itu diarahkan pada sosok muda,” ucapnya.
Jurus Kampanye
Mengandalkan figur muda saja memang tidak cukup. Butuh pendekatan dan strategi yang lebih populis agar kemudaan bermetamorfosa melahirkan kepercayaan dan keterpilihan.
Husni Lubis mengatakan, dalam kampanye dirinya menggunakan jurus pendekatan budaya lokal atau kultural untuk memenangkan persaingan. ”Yang terpenting sebenarnya, bagaimana menyentuh hati masyarakat dengan pendekatan-pendekatan yang kita lakukan. Pertama pendekatan melalui mesin partai sendiri, dan kedua pendekatan kultural melalui keluarga,” katanya.
Karena itu, Husni sering mengunjungi konstituen dari pondok ke pondok, dari rumah ke rumah. Ia juga menggalang tokoh muda setempat untuk melakukan perubahan. Lewat pengalaman yang dimiliki, dia yakin bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat baik itu ilmu maupun pengalamannya tadi, jika terjun langsung ke masyarakat.
”Tiga kali saya mengikuti pelatihan tim tehnis Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan, itu bisa menjadi bekal untuk memberi sentuhan langsung ke masyarakat desa,” katanya. (**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar